RUANG
TERBUKA
Kota
adalah ruang yang selalu tumbuh. Celakanya, pertumbuhan kota sering kali
berjalan liar, mengabaikan kebutuhan dasar penghuninya, termasuk kebutuhan pada
ruang terbuka. Kaum muda, sebagai bagian dari masyarakat, cenderung ditinggal
oleh arus perubahan itu. Namun, selalu ada cara untuk menyiasatinya.
![]() |
komunitas baca-baca di taman doc.KBBT-azis |
Pandangan itu
dilontarkan oleh pemerhati kota, Marco Kusumawijaya, dalam tulisannya mengenai
album musik Dosa, Kota, & Kenangan (2015) yang dibuat oleh kelompok Silampukau asal
Surabaya. Marco menulis ”Mereka (kaum muda) sering kalah (oleh perubahan kota),
misalnya dalam perebutan ruang, bahkan untuk kegiatan yang sepele seperti
bermain bola”.
Salah satu lagu dalam album itu adalah ”Bola
Raya”. Dalam kalimat lugas, duo Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening itu
menceritakan, mereka bermain bola di jalan raya tak memedulikan cemoohan orang.
”Kami rindu lapangan yang hijau. Harus sewa dengan harga tak terjangkau. Tanah
lapang berganti gedung. Mereka ambil untung, kami yang buntung”. Demikian lirik
lagu itu.
Gedung yang dimaksud dalam lagu itu bisa
termasuk pusat perbelanjaan. Tak bisa dimungkiri memang, pusat perbelanjaan
atau mal menyediakan ruang untuk perjumpaan. Namun, untuk bisa memanfaatkannya,
ada syarat ini-itu. Katakan saja, untuk bisa duduk-duduk bercengkerama dengan
kawan lama, orang harus jajan terlebih dulu. Untuk berolahraga, tentu harus
menyewa fasilitasnya.
Taman di perkotaan sudah semestinya kembali
berperan sebagai tempat berkumpul yang egaliter. Semua golongan berbagai usia
bisa berkumpul atau sekadar asyik menikmati kesendirian sambil membaca buku,
misalnya. Memang ada juga sisi komersial yang menyusup di taman itu, seperti
para pedagang asongan. Namun, menyisihkan uang sedikit untuk pedagang kecil
seperti mereka pun tak ada ruginya. Sepiring ketoprak, misalnya, bisa disantap
dengan membayar Rp 10.000 saja.
Dalam beberapa tahun terakhir, warga Jakarta
sudah mulai mendatangi kembali taman-taman yang ada. Beberapa taman yang ramai
setiap sore adalah Taman Surapati dan Taman Ayodya. Beragam sekali kegiatan di
sana. Banyak yang bergerombol duduk-duduk, ada yang berlari kecil mengitari
taman mencari keringat, ada yang berkesenian.
Satria Fajar (24) mengunjungi Taman Surapati
pada Minggu pekan lalu. Ia terlihat asyik menggambar pepohonan dan patung yang
ada di taman itu menjelang berbuka puasa. Sayup terdengar alunan musik
keroncong yang dimainkan beberapa kelompok dari sisi barat taman.
Satria hobi menggambar. Ia tak hanya menggambar
di taman. Namun, menggambar di taman memberinya energi tambahan. ”Inspirasi
untuk gambar biasanya bermunculan kalau di taman. Musik yang ada di sini tidak
mengganggu konsentrasi saya, tapi justru memunculkan inspirasi baru,” katanya.
Di sudut lain ada juga sekelompok anak muda yang
serius berdiskusi. Mereka sedang membahas proyek pertunjukan.
![]() |
baca di bangku taman doc.uu |
![]() |
bir bincang ringan docKBBT_agoes |
Warga mengisi waktu
libur dengan bermain dan bercengkerama di Taman Ayodya, Jakarta Selatan, beberapa
waktu lalu (atas). Warga berolahraga di Taman Suropati, Jakarta Pusat. Taman
menjadi oase, tempat berlibur dan berolahraga murah bagi warga.
”Bertemu di kampus sudah terlalu sering dan
bosan. Di taman ini, suasananya baru dan sejuk, banyak pepohonan. Obrolan
biasanya jadi lebih cair,” kata Ida Lutfianti (22).
![]() |
baca-baca di taman acara BUS beras utk semua doc,KBH |
Aktivitas asyik lain juga ada di Taman Menteng.
Komunitas Baca-Baca di Taman (KBBT) hampir setiap Sabtu malam menggelar lapak
di depan rumah kaca di taman itu. Mereka mempersilakan siapa saja untuk datang,
buka buku, dan membaca. Boleh juga membawa sendiri. Selain itu, mereka juga
sering menggelar diskusi.
”Ada acara Miras,
akronim dari mikir keras, dan Bir atau bincang ringan. Di acara
Miras itu, kami pernah kedatangan penulis Heri Latief. Kami lantas berdiskusi
soal karyanya dan bergantian membacakan puisi, siapa pun yang punya karya,”
kata Agus (26), salah seorang pegiat komunitas itu.
Menurut Agus, kegiatan membaca di taman adalah
bentuk pendobrakan stereotip. Membaca bukanlah kemewahan bagi golongan yang
bisa membeli buku dan punya ruang pribadi. Di taman, tempat berkumpulnya
bermacam-macam orang, aktivitas membaca berwujud sebagai kegiatan egaliter.
Selain buku, lapak
mereka juga diisi dengan sejumlah edisi zine, buklet buatan sendiri yang diperbanyak dengan
cara fotokopi. Komunitas itu, kata Agus, juga membuat zine sendiri
dengan penulis dari sesama mereka, termasuk Agus. Mereka sangat terbuka untuk
tukar-menukar zine dengan komunitas atau orang yang punya zine.
Kota Bandung, Jawa Barat, dengan julukannya
sebagai ”Parijs van Java” punya banyak taman juga. Pemerintah kota itu bahkan
merancang setiap taman tersebut dengan fungsi khusus, seperti taman untuk
mengajak jalan-jalan binatang peliharaan, taman untuk berolah kebugaran, dan
taman untuk menonton film.
Taman Film, demikian namanya, terletak di bawah
Jembatan Pasupati, ikon kota. Di salah satu tiang jembatan itu ada layar
berukuran besar. Pengunjung bisa menikmati film yang ditayangkan atau sekadar
menonton siaran langsung pertandingan klub sepak bola kebanggaan mereka.
Konon, kawasan Taman Sari itu dulunya adalah
tempat ”jin buang anak”, kumuh, dan tidak nyaman. Sekarang, banyak pembuat film
yang berusaha menampilkan karya mereka di sana. Para pembuat film independen di
Bandung mendapat tempat untuk mempertontonkan karya. Hal itu bisa menambah
semangat baru bagi talenta kreatif di bidang perfilman.
Pemerintah, sebagai pembuat kebijakan, punya
dana sehingga sudah selayaknya memperbanyak taman dan fasilitas penunjang,
seperti lampu, tempat sampah, serta petugas kebersihan dan keamanan. Jika sudah
demikian, warga bertanggung jawab menghidupi taman itu dengan berbagai
kegiatan. Jadi, main-mainlah ke taman. Siapa tahu kalian bisa dapat inspirasi
untuk menjalani kehidupanmu. Jangan lupa untuk membuang sampahmu pada
tempatnya.
(HEI)
http://print.kompas.com/baca/2015/07/14/RUANG-TERBUKA-Taman-Kota-Milik-Kita
0 komentar:
Posting Komentar