Ruang terbuka hijau pilihan bagi komunitas di Jakarta untuk bertemu, menyalurkan hobi sekaligus rekreasi.
Pendopo kecil Taman Suropati minggu
siang terisi penuh. Tiga puluhan pengunjung memadati bangunan terbuka itu, awal
Desember lalu. Ada yang berdiri, yang duduk juga ada. Hujan membuat mereka
berdempetan dan bercengkrama. Rumput taman, batu akik, kopi dan masih banyak
hal lainnya menjadi tema bicara. Beberapa terlihat saling berkenalan di taman
yang ada di Jakarta Pusat ini.
Di antara mereka ada seorang lelaki
memegang dua kantong plastik besar. Terlihat ada beberapa gulungan kertas, kuas
dan cat air. Dia bercengkrama dengan lelaki lain yang kompak memakai kaos
abu-abu bertuliskan Sketch Alcoholic. “Kita dari komunitas gambar. Namanya
Sketch Alcoholic,” ujar Agus Junawan, salah satunya.
Lelaki 45 tahun itu menjelaskan Sketch
Alcoholic adalah komunitas terdiri dari penghobi gambar sketsa. Komunitas yang
berdiri 2010 ini mempunyai sekitar 1.000 anggota di seluruh Indonesia, 600 di
antaranya ada di Jakarta. Awal mula komunitas terjalin di facebook.
Mereka membuat grup dan saling unggah karya. Lalu kopi darat di beberapa
tempat, termasuk di taman kota. Mereka pernah berkumpul di kebun binatang
Ragunan, Taman Mini Indonesia Indah, kawasan Kota Tua dan taman Suropati.
Jadwal ketemuan di taman Suropati adalah hari minggu pertama setiap awal bulan.
“Kumpulnya tuh di sini, di taman dari
jam 8 pagi sampai 12 siang,” kata Agus yang tinggal, Jakarta Timur itu.
Ia menjelaskan selain untuk
kumpul-kumpul, mereka juga melayani jika ada yang minta digambar. Sketch
Alcoholic tak segan berbagi ilmu. “Hari ini ikut kopi darat ada tujuh orang.
Ada juga dua anak yang ikut belajar,” jelas Agus yang mengajak istri dan putri
kecilnya itu.
Taman mereka pilih karena nyaman dan
kondusif. Selain gratis, mereka bisa menikmati suasana sejuk berhawa segar
sekalian rekreasi bersama keluarga. Taman kota, menurut Agus, selain
memperindah juga berfungsi sebagai tempat olahraga, rekreasi, bermain-main juga
belajar. Cocok untuk menghilangkan kepenatan di tengah kesibukan sehari-hari.
“Sehari saja di taman sudah segar. Refreshing otak,” katanya.
Saat ini kegiatan kumpul di taman bagi
orang-orang sehobi mulai merebak. Sudah mulai ada kesadaran, karena berkumpul
dan berlajar di tempat terbuka itu mengasyikkan. Contohnya, di Taman Suropati
ada komunitas musik, komunitas pecinta reptil, komunitas Taman Suropati
Chambers dan lainnya. Sayangnya, menurut jumlah taman dan ruang terbuka hijau
di Ibukota masih kurang. “Kita butuh tempat berpijak ruang terbuka hijau,”
jelas lelaki kelahiran Subang itu, sambil berpamitan karena hujan sudah reda.
Di saat yang sama, beberapa anak dan
pemuda yang tadi juga ikut berdempetan di pendopo, saat itu telah sibuk dengan
biola masing-masing. Di lapangan sebelah barat taman, mereka duduk berkelompok,
tiga sampai tujuh orang. Mereka dari komunitas musik Taman Suropati Chambers
atau TSC yang menggesek biola setiap hari minggu dari pukul sepuluh pagi sampai
dua siang.
Komunitas sejak 2007 ini fokus pada
biola, meskipun ada juga yang belajar cello ataupun flute. “Sesuai keahlian
saya, yaitu di biola,” ujar Ages Dwiharso, pendiri TSC.
Lulusan Sekolah Pendidikan Guru Van
Lith, Magelang ini awalnya ingin mendirikan sekolah musik tapi tidak ada biaya.
Saat itu pemerintah banyak menertibkan pengamen jalanan yang dianggap
“menggangu” ketertiban umum. Ages menawarkan konsep bermain musik di taman
kepada para pengamen. “Barangkali mereka tidak di jalan lagi, bisa jadi guru
musik atau pemain biola profesional,” kata guru musik dan arrangger
orchestra itu.
Saat ini pegiat komunitas TSC sekitar
400 orang. Mereka telah diundang mengisi acara ke berbagai tempat untuk mengisi
acara dan dua kali diundang ke Istana Merdeka. “Besok diundang Pak Ahok ke
Balaikota untuk mengiringi makam malam. Saya ajak 12 anggota yang mahir,” jelas
Ages.
Kini, komunitas TSC malah menjadi
incaran para orang tua untuk anaknya berlatih biola. Untuk membantu kelancaran
kegiatan TSC, seperti untuk fotokopi bahan ajar, transportasi dan biaya lain
terkait kegiatan komunitas, para orang tua itu saweran 200 ribu rupiah sebulan.
“Segratis-gratisnya kegiatan tak mungkin tanpa biaya. Awalnya pakai uang saya
sendiri, sekarang terbantu dengan saweran itu,” ujarnya. Namun, tak
semua ikut saweran, bagi yang tak mampu bisa gratis. “Pakai subsidi
silang,” kata lelaki 44 tahun itu.
Konsep komunitas musik di taman dipilih
Ages karena ingin memberi opsi kegiatan di hari libur, selain jalan-jalan ke
mall. Konsepnya adalah rekreatif, edukatif dan kreatif. Rekreasi dengan bermain
di taman. Edukasi dengan memberikan pendidikan, bukan hanya bermusik, tapi juga
cara bersosialisasi, bekerjasama, pembentukan karakter, taat aturan dan hidup
dalam masyarakat majemuk. Kreatif, menjadikan taman kota sebagai ruang bermusik.
Musiknya dinikmati pengunjung, kegiatannya menjadi obyek fotografi. Tak salah
Museum Rekor Indonesia (MURI) memberi TSC sertifikat komunitas musik taman
pertama di Indonesia.
Salah satu petugas pengelola taman
Suropati, sebut saja pak Jono, membenarkan bahwa selain pengunjung pribadi, ada
beberapa komunitas yang berkegiatan di taman Suropati. Ada komunitas musik
biola, musik band, musik reggae, pecinta reptil, yoga, tari-senam,
skesta, fotografi dan lainnya. “Sejauh ini positif. Di sini terbuka untuk komunitas
apa saja. Kalau komunitasnya baru, harus membuat surat pemberitahuan ke Dinas
Pertamanan DKI Jakarta,” katanya.
Sementara di Taman Menteng ada
Komunitas Baca-Baca di Taman. Edwarnov alias UK, pegiat dari komunitas ini
mengatakan, mereka berkumpul di Taman Menteng setiap Sabtu, jam 8-10 malam.
Mereka membaca buku, sastra, majalah, baca puisi dan diskusi. Komunitas yang
didirikan September 2012 ini juga membuat terbitan komunitas dan blog.
“Anggotanya keluar masuk, tapi pas kopi darat bisa sampai 50 sampai 100an yang
datang,” katanya.
![]() |
baca-baca di taman menteng doc.KBBT_aziz |
Edwarnov mengaku belakangan ini mereka
kurang nyaman karena lampu taman sering mati. Ia berharap, Taman Menteng diberi
penerangan yang cukup agar tidak dijadikan tempat mesum dan rawan kriminalitas.
“Kalau bisa ada fasilitas wifi karena ada banyak komunitas, seperti
fotografi, sepeda, dan parkour,” katanya.
Taman atau ruang terbuka hijau di
Jakarta terhitung masih minim. Saat ini jumlahnya sekitar 10 persen dari luas
wilayah Jakarta. Padahal, merujuk pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, setiap kota seharusnya menyisihkan minimal 30 persen dari luas
wilayah untuk ruang terbuka hijau (RTH).
Menyenangkan kumpul bersama teman
sehobi di taman. Menikmati udara segar, melepas penat dan menyaksikan hiburan.
Nah, jika Anda punya komunitas, maka tak ada salahnya janjian di taman. Selamat
mencoba.
Agus Hariyanto
http://www.energiview.co.id/2015/02/25/kumpulnya-tuh-di-sini-di-taman/
0 komentar:
Posting Komentar