Jumat, 03 Juli 2015

Kumpulnya Tuh di Sini, di Taman

baca-baca di taman akustikan doc.KBBT_windu

Ruang terbuka hijau pilihan bagi komunitas di Jakarta untuk bertemu, menyalurkan hobi sekaligus rekreasi.

Pendopo kecil Taman Suropati minggu siang terisi penuh. Tiga puluhan pengunjung memadati bangunan terbuka itu, awal Desember lalu. Ada yang berdiri, yang duduk juga ada. Hujan membuat mereka berdempetan dan bercengkrama. Rumput taman, batu akik, kopi dan masih banyak hal lainnya menjadi tema bicara. Beberapa terlihat saling berkenalan di taman yang ada di Jakarta Pusat ini.

Di antara mereka ada seorang lelaki memegang dua kantong plastik besar. Terlihat ada beberapa gulungan kertas, kuas dan cat air. Dia bercengkrama dengan lelaki lain yang kompak memakai kaos abu-abu bertuliskan Sketch Alcoholic. “Kita dari komunitas gambar. Namanya Sketch Alcoholic,” ujar Agus Junawan, salah satunya.

Lelaki 45 tahun itu menjelaskan Sketch Alcoholic adalah komunitas terdiri dari penghobi gambar sketsa. Komunitas yang berdiri 2010 ini mempunyai sekitar 1.000 anggota di seluruh Indonesia, 600 di antaranya ada di Jakarta. Awal mula komunitas terjalin di facebook. Mereka membuat grup dan saling unggah karya. Lalu kopi darat di beberapa tempat, termasuk di taman kota. Mereka pernah berkumpul di kebun binatang Ragunan, Taman Mini Indonesia Indah, kawasan Kota Tua dan taman Suropati. Jadwal ketemuan di taman Suropati adalah hari minggu pertama setiap awal bulan.
“Kumpulnya tuh di sini, di taman dari jam 8 pagi sampai 12 siang,” kata Agus yang tinggal, Jakarta Timur itu.

Ia menjelaskan selain untuk kumpul-kumpul, mereka juga melayani jika ada yang minta digambar. Sketch Alcoholic tak segan berbagi ilmu. “Hari ini ikut kopi darat ada tujuh orang. Ada juga dua anak yang ikut belajar,” jelas Agus yang mengajak istri dan putri kecilnya itu.

Taman mereka pilih karena nyaman dan kondusif. Selain gratis, mereka bisa menikmati suasana sejuk berhawa segar sekalian rekreasi bersama keluarga. Taman kota, menurut Agus, selain memperindah juga berfungsi sebagai tempat olahraga, rekreasi, bermain-main juga belajar. Cocok untuk menghilangkan kepenatan di tengah kesibukan sehari-hari. “Sehari saja di taman sudah segar. Refreshing otak,” katanya.

Saat ini kegiatan kumpul di taman bagi orang-orang sehobi mulai merebak. Sudah mulai ada kesadaran, karena berkumpul dan berlajar di tempat terbuka itu mengasyikkan. Contohnya, di Taman Suropati ada komunitas musik, komunitas pecinta reptil, komunitas Taman Suropati Chambers dan lainnya. Sayangnya, menurut jumlah taman dan ruang terbuka hijau di Ibukota masih kurang. “Kita butuh tempat berpijak ruang terbuka hijau,” jelas lelaki kelahiran Subang itu, sambil berpamitan karena hujan sudah reda.

Di saat yang sama, beberapa anak dan pemuda yang tadi juga ikut berdempetan di pendopo, saat itu telah sibuk dengan biola masing-masing. Di lapangan sebelah barat taman, mereka duduk berkelompok, tiga sampai tujuh orang. Mereka dari komunitas musik Taman Suropati Chambers atau TSC yang menggesek biola setiap hari minggu dari pukul sepuluh pagi sampai dua siang.
Komunitas sejak 2007 ini fokus pada biola, meskipun ada juga yang belajar cello ataupun flute. “Sesuai keahlian saya, yaitu di biola,” ujar Ages Dwiharso, pendiri TSC.

Lulusan Sekolah Pendidikan Guru Van Lith, Magelang ini awalnya ingin mendirikan sekolah musik tapi tidak ada biaya. Saat itu pemerintah banyak menertibkan pengamen jalanan yang dianggap “menggangu” ketertiban umum. Ages menawarkan konsep bermain musik di taman kepada para pengamen. “Barangkali mereka tidak di jalan lagi, bisa jadi guru musik atau pemain biola profesional,” kata guru musik dan arrangger orchestra itu.

Saat ini pegiat komunitas TSC sekitar 400 orang. Mereka telah diundang mengisi acara ke berbagai tempat untuk mengisi acara dan dua kali diundang ke Istana Merdeka. “Besok diundang Pak Ahok ke Balaikota untuk mengiringi makam malam. Saya ajak 12 anggota yang mahir,” jelas Ages.
Kini, komunitas TSC malah menjadi incaran para orang tua untuk anaknya berlatih biola. Untuk membantu kelancaran kegiatan TSC, seperti untuk fotokopi bahan ajar, transportasi dan biaya lain terkait kegiatan komunitas, para orang tua itu saweran 200 ribu rupiah sebulan. “Segratis-gratisnya kegiatan tak mungkin tanpa biaya. Awalnya pakai uang saya sendiri, sekarang terbantu dengan saweran itu,” ujarnya. Namun, tak semua ikut saweran, bagi yang tak mampu bisa gratis. “Pakai subsidi silang,” kata lelaki 44 tahun itu.

Konsep komunitas musik di taman dipilih Ages karena ingin memberi opsi kegiatan di hari libur, selain jalan-jalan ke mall. Konsepnya adalah rekreatif, edukatif dan kreatif. Rekreasi dengan bermain di taman. Edukasi dengan memberikan pendidikan, bukan hanya bermusik, tapi juga cara bersosialisasi, bekerjasama, pembentukan karakter, taat aturan dan hidup dalam masyarakat majemuk. Kreatif, menjadikan taman kota sebagai ruang bermusik. Musiknya dinikmati pengunjung, kegiatannya menjadi obyek fotografi. Tak salah Museum Rekor Indonesia (MURI) memberi TSC sertifikat komunitas musik taman pertama di Indonesia.

Salah satu petugas pengelola taman Suropati, sebut saja pak Jono, membenarkan bahwa selain pengunjung pribadi, ada beberapa komunitas yang berkegiatan di taman Suropati. Ada komunitas musik biola, musik band, musik reggae, pecinta reptil,  yoga, tari-senam, skesta, fotografi dan lainnya. “Sejauh ini positif. Di sini terbuka untuk komunitas apa saja. Kalau komunitasnya baru, harus membuat surat pemberitahuan ke Dinas Pertamanan DKI Jakarta,” katanya.

Sementara di Taman Menteng ada Komunitas Baca-Baca di Taman. Edwarnov alias UK, pegiat dari komunitas ini mengatakan, mereka berkumpul di Taman Menteng setiap Sabtu, jam 8-10 malam. Mereka membaca buku, sastra, majalah, baca puisi dan diskusi. Komunitas yang didirikan September 2012 ini juga membuat terbitan komunitas dan blog. “Anggotanya keluar masuk, tapi pas kopi darat bisa sampai 50 sampai 100an yang datang,” katanya.
baca-baca di taman menteng doc.KBBT_aziz

Edwarnov mengaku belakangan ini mereka kurang nyaman karena lampu taman sering mati. Ia berharap, Taman Menteng diberi penerangan yang cukup agar tidak dijadikan tempat mesum dan rawan kriminalitas. “Kalau bisa ada fasilitas wifi karena ada banyak komunitas, seperti fotografi, sepeda, dan parkour,” katanya.

Taman atau ruang terbuka hijau di Jakarta terhitung masih minim. Saat ini jumlahnya sekitar 10 persen dari luas wilayah Jakarta. Padahal, merujuk pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap kota seharusnya menyisihkan minimal 30 persen dari luas wilayah untuk ruang terbuka hijau (RTH).

Menyenangkan kumpul bersama teman sehobi di taman. Menikmati udara segar, melepas penat dan menyaksikan hiburan. Nah, jika Anda punya komunitas, maka tak ada salahnya janjian di taman. Selamat mencoba.

Agus Hariyanto

http://www.energiview.co.id/2015/02/25/kumpulnya-tuh-di-sini-di-taman/

0 komentar:

Posting Komentar