![]() |
baca-baca di taman doc.KBBT_windu |
"Kenapa, sih, kalau ada komunitas baca, selalu
dikaitkan dengan mahasiswa?" Pertanyaan menyengat itu dilontarkan Agus,
salah seorang pegiat Komunitas Baca-Baca di Taman, Sabtu (28/3) malam, di Taman
Menteng, Jakarta Pusat. Agus sehari-hari bekerja di salah satu bengkel cat
untuk sepeda motor.
kompas_inggki rinaldi |
Selembar kertas bertuliskan, "Mau
Pintar Kenapa Musti Bayar" dengan gambar seseorang tengah bersila membuka
sebuah buku ditempelkan di Taman Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (28/3) malam.
Bersama tiga kawannya, Azis yang bekerja sebagai sopir
metromini, Edwan yang berkarya dalam bidang penyelenggaraan kegiatan, dan
Rahmad yang seorang mahasiswa, Agus menjalankan komunitas tersebut.
Setiap hari Sabtu, selepas waktu maghrib atau isya, mereka
membawa buku-buku dari kediaman masing-masing. Buku-buku tadi lalu digelar
begitu saja dengan alas seadanya di salah satu pojok Taman Menteng.
Orang-orang yang datang bebas membaca aneka koleksi buku
dengan tema sejarah, sastra, dan sebagainya itu. Malam itu, Edwan yang tinggal
di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur, dan Agus yang tinggal di Pondok Gede,
Bekasi, menjadi pembawa buku-buku tersebut.
Anak-anak usia SD dan SMP, menurut Edwan, adalah pembaca
yang relatif kerap datang ke tempat itu. Selain itu, sebagian anak-anak jalanan
yang selama ini relatif kesulitan beroleh akses membaca bahan-bahan bacaan
seperti buku.
Upaya membebaskan
Dengan sorotan lampu seadanya yang ada di taman tersebut,
jika tidak bisa disebut remang-remang, sejumlah orang lantas turut berkumpul.
Mereka membincangkan sejumlah hal, termasuk ihwal pendidikan saat ini yang
alih-alih membebaskan, tetapi justru makin membuat sebagian individu
terkungkung tanpa mencecap kemerdekaan berpikir dan bertindak.
Sekalipun disebutkan setiap Sabtu malam, jadwal itu bisa
berubah cepat. Ini tergantung dari stamina yang dimiliki sejumlah pegiatnya.
Jika mereka berhalangan terkait urusan pekerjaan, bisa dipastikan kumpul-kumpul
sembari membaca di taman itu mesti ditiadakan dulu.
Sebuah zine dengan nama Komazine, termasuk yang mengawali
napas komunitas tersebut. Kini, produk setebal 27 halaman berisikan sejumlah
karya tulisan itu dijual seharga Rp 7.000 per eksemplar.
Akan tetapi, para pembelinya sangat diharapkan bisa membayar
lebih. Pasalnya, donasi itu bakal dipergunakan untuk menyelenggarakan sejumlah
kegiatan nyata. Sebutlah saja, misalnya, baca puisi di taman, atau sekadar
diskusi dengan komunitas lain.
Dimulai sejak September 2012, komunitas itu telah mengalami
pula periode jatuh-bangun lazimnya organisasi lain. Para pegiatnya bergantian,
yang berotasi sesuai dengan tuntutan hidup dan kepentingan masing-masing.
Namun, mereka bersepakat bahwa kegelisahan ihwal minat baca
relatif rendah dan cenderung minimnya ketersedian ruang publik bagi masyarakat
telah membuat ide pembentukan komunitas itu tercetus.
"Tidak ada demokrasi tanpa ruang publik," sebut
Edwan.
Sebuah kertas bertuliskan, "Mau Pintar Kenapa Musti
Bayar" dengan gambar seseorang tengah bersila membuka sebuah buku
ditempelkan dekat tempat Agus dan Edwan duduk. "Kadang kala ada juga orang
yang datang, lalu mengajak berdebat dan tidak setuju dengan kami," tutur
Edwan.
Ketidaksetujuan itu biasanya seputar penentangan ide Edwan
dan kawan-kawan bahwa pendidikan mestilah berlaku untuk semua. Sifatnya yang
membebaskan, alih-alih menjadi semacam alat untuk melakukan eksploitasi
terhadap sesama.
![]() |
kumpul di taman KUDETA doc.KBBT_windu |
Tentu saja, pemilihan lokasi taman, dalam hal ini Taman
Menteng, dilakukan pula dalam kaitannya dengan upaya menuju pembebasan itu
tadi. Ini seperti merujuk pula pada ajaran Ki Hajar Dewantara tentang
pendidikan yang mestinya tidak berjarak dengan realitas di tengah-tengah
masyarakat. Perihal pendidikan yang mestinya bisa dilangsungkan di mana saja,
kapan saja, tanpa perlu disekat-sekat ruang kelas yang cenderung membatasi.
"Ing ngarsa sung tulodo, ing madya mangun karsa, dan tut
wuri handayani". Atau bisa juga dimaknai dengan: "Di depan memberi
teladan, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan."
Ini tentang memaknai taman, ruang publik, dan pendidikan
yang (mestinya) membebaskan.
oleh: Ingki Rinaldi
http://print.kompas.com/baca/2015/03/31/Menemukan-Taman-Siswa-Lewat-Baca-Baca-di-Taman
0 komentar:
Posting Komentar