Rabu, 01 Juli 2015

Menemukan Taman Siswa Lewat Baca-Baca di Taman

baca-baca di taman doc.KBBT_windu


"Kenapa, sih, kalau ada komunitas baca, selalu dikaitkan dengan mahasiswa?" Pertanyaan menyengat itu dilontarkan Agus, salah seorang pegiat Komunitas Baca-Baca di Taman, Sabtu (28/3) malam, di Taman Menteng, Jakarta Pusat. Agus sehari-hari bekerja di salah satu bengkel cat untuk sepeda motor.
kompas_inggki rinaldi

Selembar kertas bertuliskan, "Mau Pintar Kenapa Musti Bayar" dengan gambar seseorang tengah bersila membuka sebuah buku ditempelkan di Taman Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (28/3) malam.

Bersama tiga kawannya, Azis yang bekerja sebagai sopir metromini, Edwan yang berkarya dalam bidang penyelenggaraan kegiatan, dan Rahmad yang seorang mahasiswa, Agus menjalankan komunitas tersebut.
Setiap hari Sabtu, selepas waktu maghrib atau isya, mereka membawa buku-buku dari kediaman masing-masing. Buku-buku tadi lalu digelar begitu saja dengan alas seadanya di salah satu pojok Taman Menteng.
Orang-orang yang datang bebas membaca aneka koleksi buku dengan tema sejarah, sastra, dan sebagainya itu. Malam itu, Edwan yang tinggal di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur, dan Agus yang tinggal di Pondok Gede, Bekasi, menjadi pembawa buku-buku tersebut.
Anak-anak usia SD dan SMP, menurut Edwan, adalah pembaca yang relatif kerap datang ke tempat itu. Selain itu, sebagian anak-anak jalanan yang selama ini relatif kesulitan beroleh akses membaca bahan-bahan bacaan seperti buku.
Upaya membebaskan
Dengan sorotan lampu seadanya yang ada di taman tersebut, jika tidak bisa disebut remang-remang, sejumlah orang lantas turut berkumpul. Mereka membincangkan sejumlah hal, termasuk ihwal pendidikan saat ini yang alih-alih membebaskan, tetapi justru makin membuat sebagian individu terkungkung tanpa mencecap kemerdekaan berpikir dan bertindak.
Sekalipun disebutkan setiap Sabtu malam, jadwal itu bisa berubah cepat. Ini tergantung dari stamina yang dimiliki sejumlah pegiatnya. Jika mereka berhalangan terkait urusan pekerjaan, bisa dipastikan kumpul-kumpul sembari membaca di taman itu mesti ditiadakan dulu.
Sebuah zine dengan nama Komazine, termasuk yang mengawali napas komunitas tersebut. Kini, produk setebal 27 halaman berisikan sejumlah karya tulisan itu dijual seharga Rp 7.000 per eksemplar.
Akan tetapi, para pembelinya sangat diharapkan bisa membayar lebih. Pasalnya, donasi itu bakal dipergunakan untuk menyelenggarakan sejumlah kegiatan nyata. Sebutlah saja, misalnya, baca puisi di taman, atau sekadar diskusi dengan komunitas lain.

Dimulai sejak September 2012, komunitas itu telah mengalami pula periode jatuh-bangun lazimnya organisasi lain. Para pegiatnya bergantian, yang berotasi sesuai dengan tuntutan hidup dan kepentingan masing-masing.
Namun, mereka bersepakat bahwa kegelisahan ihwal minat baca relatif rendah dan cenderung minimnya ketersedian ruang publik bagi masyarakat telah membuat ide pembentukan komunitas itu tercetus.
"Tidak ada demokrasi tanpa ruang publik," sebut Edwan.
Sebuah kertas bertuliskan, "Mau Pintar Kenapa Musti Bayar" dengan gambar seseorang tengah bersila membuka sebuah buku ditempelkan dekat tempat Agus dan Edwan duduk. "Kadang kala ada juga orang yang datang, lalu mengajak berdebat dan tidak setuju dengan kami," tutur Edwan.
Ketidaksetujuan itu biasanya seputar penentangan ide Edwan dan kawan-kawan bahwa pendidikan mestilah berlaku untuk semua. Sifatnya yang membebaskan, alih-alih menjadi semacam alat untuk melakukan eksploitasi terhadap sesama.
kumpul di taman KUDETA doc.KBBT_windu
Tentu saja, pemilihan lokasi taman, dalam hal ini Taman Menteng, dilakukan pula dalam kaitannya dengan upaya menuju pembebasan itu tadi. Ini seperti merujuk pula pada ajaran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yang mestinya tidak berjarak dengan realitas di tengah-tengah masyarakat. Perihal pendidikan yang mestinya bisa dilangsungkan di mana saja, kapan saja, tanpa perlu disekat-sekat ruang kelas yang cenderung membatasi.
"Ing ngarsa sung tulodo, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani". Atau bisa juga dimaknai dengan: "Di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan."
Ini tentang memaknai taman, ruang publik, dan pendidikan yang (mestinya) membebaskan.
oleh: Ingki Rinaldi
http://print.kompas.com/baca/2015/03/31/Menemukan-Taman-Siswa-Lewat-Baca-Baca-di-Taman


0 komentar:

Posting Komentar