![]() |
TEMEN ..taman ekspresi menteng doc KBBT-agoes |
Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 mendefinisikan Ruang Terbuka Hijau Kawasan
Perkotaan (RTHKP) sebagai bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan
yang diisi tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya,
ekonomi, dan estetika. Ini menegaskan bahwa RTHKP tak sekadar menjadi museum
hijau, tetapi juga ruang interaksi sosial. Namun, sudahkah ruang publik
benar-benar menjadi diperuntukkan bagi warga?
Keterikatan ruang
publik dengan warga dapat dilihat dari keberadaan para “penghuni taman” yang
tak semata-mata datang sebagai pengunjung. Mereka merupakan komunitas-komunitas
yang kerap berkumpul di taman kota, menghidupkan ruang publik, dan berpotensi
memberikan roh secara berkelanjutan.
![]() |
IKLAN KOMPAS/CECILIA GANDES |
Klasikamus
Taman Menteng diresmikan Pemprov DKI Jakarta pada 28 April 2007. Selain menambah ruang terbuka hijau (RTH), pembangunan taman ditujukan sebagai sarana rekreasi publik.
Taman Menteng diresmikan Pemprov DKI Jakarta pada 28 April 2007. Selain menambah ruang terbuka hijau (RTH), pembangunan taman ditujukan sebagai sarana rekreasi publik.
Isu mengenai
pemanfaatan ruang publik juga menjadi perhatian Komunitas Baca-Baca di Taman
(KBBT). Komunitas ini setia menghuni Taman Menteng, Jakarta Pusat, setiap Sabtu
malam. Sekitar pukul 19.00, mereka mulai berkumpul di depan rumah kaca,
menggelar kain hitam, dan menata buku-buku. Siapa pun bisa membaca secara
cuma-cuma. “Mau pintar, kenapa mesti bayar?” Lontaran satire yang selalu
digaungkan KBBT.
“Lahirnya KBBT
dilatarbelakangi adanya kegelisahan yang sama. Jakarta punya ruang terbuka,
lalu mengapa tidak dimanfaatkan? Terlebih lagi, untuk kegiatan yang positif dan
nonprofit,” ujar Edwan M Dirgantara (28), salah satu penggiat.
Tujuh orang yang
dikenal dari lingkaran relasi yang berbeda-beda berdiskusi dan mulai beraksi
meski tanpa nama. Kala itu, Bundaran HI masih menjadi tempat persinggahan
pertama. Mereka menggelar alas dan memajang majalah Komazine terbitan
independen. Warga Ibu Kota yang lalu lalang bebas membaca tanpa membayar.
Karena terlalu bising
dan penuh polusi, lokasi berpindah. Setelah mengobservasi sejumlah taman kota,
dipilihlah Taman Menteng sebagai tempat berkumpul. Taman tersebut ingin
dihidupkan kembali. Hingga pada akhirnya, 1 September 2012 dicatat sebagai
tanggal lahir KBBT.
“Membaca itu untuk
semua orang, bukan hanya orang-orang tertentu yang sering kali dinilai sebagai
kutu buku atau orang yang kaku,” ujar Edwan. Keberadaan KBBT di ruang terbuka
pun secara tidak langsung mengundang bocah-bocah cilik dari kalangan marjinal
ikut menyentuh buku. “Kalau biaya sekolah tidak terjangkau, orang bisa belajar
di taman. Ki Hajar Dewantara pun lebih menggunakan istilah ‘taman siswa’, bukan
‘sekolah siswa’. Taman merupakan tempat yang menyenangkan.”
Keinginan untuk
menyadarkan kembali status taman sebagai ruang publik ternyata tak semudah
membalikkan telapak tangan. Padahal, taman bisa dijadikan sebagai ruang
alternatif tempat berkumpul, berdiskusi, belajar, rekreasi, dan berinteraksi di
tengah maraknya pembangunan gedung-gedung bertingkat. Jakarta tak melulu
tentang mal.
Sabtu malam memang
jadi waktu berkumpul KBBT karena menyesuaikan jam kerja para penggiat.
Sayangnya, malam terkadang semakin gelap akibat lampu rumah kaca yang
sewaktu-waktu bisa saja dimatikan. Malam juga bisa lebih terasa dingin dan
basah sewaktu musim penghujan. Hanya ada teras rumah kaca yang bisa diandalkan
untuk tempat berteduh. Ikon Taman Menteng tersebut lebih banyak digunakan untuk
pihak-pihak yang mampu membayar harga sewa untuk kepentingan tertentu.
Selain membaca buku,
banyak kegiatan yang diagendakan setiap minggu. Misalnya, Mikir Keras (Miras)
yang mengajak orang-orang untuk berdiskusi dengan orang yang ahli di bidangnya,
Bincang Ringan (Bir), dan Kumpul dengan Teman (Kudeta). Ada pula kegiatan
menggambar di taman, baca puisi di taman, atau Taman Ekspresi Menteng (Temen).
Setiap orang bebas mengikuti kegiatan KBBT, berkolaborasi, bahkan turut
mendonasikan buku-buku.
Kini, KBBT digawangi
Edwan dan 3 penggiat lainnya, yakni Agus (26), Azis (27), dan Rahmad (21).
Masih banyak ide yang ingin direalisasikan, termasuk bekerja sama dengan para
penulis dan menjadikan taman sebagai tempat peluncuran buku.
“Berharap taman
dikembalikan ke kodratnya. Ruang publik ya untuk publik, bukan untuk orang yang
berduit. Kadang-kadang kalau ada yang berani menyewa, kita justru
disingkirkan,” pungkas Agus.
[CECILIA GANDES PW]
0 komentar:
Posting Komentar