Selasa, 16 Juni 2015

Taman Kota, Publik adalah Rohnya

TEMEN ..taman ekspresi menteng doc KBBT-agoes

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 mendefinisikan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) sebagai bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi, dan estetika. Ini menegaskan bahwa RTHKP tak sekadar menjadi museum hijau, tetapi juga ruang interaksi sosial. Namun, sudahkah ruang publik benar-benar menjadi diperuntukkan bagi warga?
Keterikatan ruang publik dengan warga dapat dilihat dari keberadaan para “penghuni taman” yang tak semata-mata datang sebagai pengunjung. Mereka merupakan komunitas-komunitas yang kerap berkumpul di taman kota, menghidupkan ruang publik, dan berpotensi memberikan roh secara berkelanjutan.
IKLAN KOMPAS/CECILIA GANDES

Klasikamus
Taman Menteng diresmikan Pemprov DKI Jakarta pada 28 April 2007. Selain menambah ruang terbuka hijau (RTH), pembangunan taman ditujukan sebagai sarana rekreasi publik.

Isu mengenai pemanfaatan ruang publik juga menjadi perhatian Komunitas Baca-Baca di Taman (KBBT). Komunitas ini setia menghuni Taman Menteng, Jakarta Pusat, setiap Sabtu malam. Sekitar pukul 19.00, mereka mulai berkumpul di depan rumah kaca, menggelar kain hitam, dan menata buku-buku. Siapa pun bisa membaca secara cuma-cuma. “Mau pintar, kenapa mesti bayar?” Lontaran satire yang selalu digaungkan KBBT.
“Lahirnya KBBT dilatarbelakangi adanya kegelisahan yang sama. Jakarta punya ruang terbuka, lalu mengapa tidak dimanfaatkan? Terlebih lagi, untuk kegiatan yang positif dan nonprofit,” ujar Edwan M Dirgantara (28), salah satu penggiat.
Tujuh orang yang dikenal dari lingkaran relasi yang berbeda-beda berdiskusi dan mulai beraksi meski tanpa nama. Kala itu, Bundaran HI masih menjadi tempat persinggahan pertama. Mereka menggelar alas dan memajang majalah Komazine terbitan independen. Warga Ibu Kota yang lalu lalang bebas membaca tanpa membayar.
Karena terlalu bising dan penuh polusi, lokasi berpindah. Setelah mengobservasi sejumlah taman kota, dipilihlah Taman Menteng sebagai tempat berkumpul. Taman tersebut ingin dihidupkan kembali. Hingga pada akhirnya, 1 September 2012 dicatat sebagai tanggal lahir KBBT.
“Membaca itu untuk semua orang, bukan hanya orang-orang tertentu yang sering kali dinilai sebagai kutu buku atau orang yang kaku,” ujar Edwan. Keberadaan KBBT di ruang terbuka pun secara tidak langsung mengundang bocah-bocah cilik dari kalangan marjinal ikut menyentuh buku. “Kalau biaya sekolah tidak terjangkau, orang bisa belajar di taman. Ki Hajar Dewantara pun lebih menggunakan istilah ‘taman siswa’, bukan ‘sekolah siswa’. Taman merupakan tempat yang menyenangkan.”
Keinginan untuk menyadarkan kembali status taman sebagai ruang publik ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Padahal, taman bisa dijadikan sebagai ruang alternatif tempat berkumpul, berdiskusi, belajar, rekreasi, dan berinteraksi di tengah maraknya pembangunan gedung-gedung bertingkat. Jakarta tak melulu tentang mal.
Sabtu malam memang jadi waktu berkumpul KBBT karena menyesuaikan jam kerja para penggiat. Sayangnya, malam terkadang semakin gelap akibat lampu rumah kaca yang sewaktu-waktu bisa saja dimatikan. Malam juga bisa lebih terasa dingin dan basah sewaktu musim penghujan. Hanya ada teras rumah kaca yang bisa diandalkan untuk tempat berteduh. Ikon Taman Menteng tersebut lebih banyak digunakan untuk pihak-pihak yang mampu membayar harga sewa untuk kepentingan tertentu.
Selain membaca buku, banyak kegiatan yang diagendakan setiap minggu. Misalnya, Mikir Keras (Miras) yang mengajak orang-orang untuk berdiskusi dengan orang yang ahli di bidangnya, Bincang Ringan (Bir), dan Kumpul dengan Teman (Kudeta). Ada pula kegiatan menggambar di taman, baca puisi di taman, atau Taman Ekspresi Menteng (Temen). Setiap orang bebas mengikuti kegiatan KBBT, berkolaborasi, bahkan turut mendonasikan buku-buku.
Kini, KBBT digawangi Edwan dan 3 penggiat lainnya, yakni Agus (26), Azis (27), dan Rahmad (21). Masih banyak ide yang ingin direalisasikan, termasuk bekerja sama dengan para penulis dan menjadikan taman sebagai tempat peluncuran buku.
“Berharap taman dikembalikan ke kodratnya. Ruang publik ya untuk publik, bukan untuk orang yang berduit. Kadang-kadang kalau ada yang berani menyewa, kita justru disingkirkan,” pungkas Agus. 
[CECILIA GANDES PW]

0 komentar:

Posting Komentar